Selasa, 04 Oktober 2016

sejarah pringsewu




Nyokabar Pringsewu. Kabupaten Pringsewu, satu dari 15 daerah otonom kabupaten/kota di Provinsi Lampung. Kabupaten Pringsewu beribukota di kota Pringsewu, berjarak 38 km dari ibukota Provinsi Lampung, Bandar Lampung, mempunyai luas wilayah 625 km2, berpenduduk kurang lebih 475.353 jiwa .
Kabupaten Pringsewu terdiri dari 131 desa/kelurahan, yang tersebar di 9 kecamatan, yakni masing-masing Kecamatan Pringsewu, Pagelaran, Pagelaran Utara, Pardasuka, Gadingrejo, Sukoharjo, Ambarawa, Adiluwih, dan Kecamatan Banyumas.
Kabupaten Pringsewu berbatasan dengan Kabupaten Lampung Tengah di sebelah utara, di sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Pesawaran, di sebelah barat dan selatan berbatasan dengan Kabupaten Tanggamus.
Sejarah Pringsewu diawali dengan berdirinya sebuah perkampungan (tiuh) bernama Margakaya pada tahun 1738 Masehi, yang dihuni masyarakat asli suku Lampung-Pubian yang berada di tepi aliran sungai Way Tebu (4 km dari pusat Kota Pringsewu ke arah selatan saat ini).
1787 tahun berikutnya yakni pada tahun 1925 sekelompok masyarakat dari Pulau Jawa, melalui program kolonisasi pemerintah Hindia Belanda, juga membuka areal permukiman baru dengan membabat hutan bambu yang cukup lebat di sekitar tiuh Margakaya tersebut.
Mengupas sejarah kota Pringsewu kita tidak akan pernah meninggalkan sejarah transmigrasi pertama di negeri ini yang dilakukan oleh Belanda tahun 1905. Dari sejarah yang ada, transmigrasi di Indonesia dimulai saat Pemerintah Hindia Belanda secara terkoordinasi menjadi koloni baru di Lampung.
Transmigrasi pertama ini memindahkan 23 kepala keluarga yang terdiri dari 77 jiwa warga masyarakat Sukadana Kecamatan Begelen Jawa Tengah menuju wilayah Lampung yang kemudian menempati koloni baru dinamai Bagelen juga.
Dari koloni pertama tahun 1927 masyarakat yang berasal dari pulau jawa mulai melakukan migrasi menuju berbagai tempat untuk mencari penghidupan yang lebih baik. Maka perpindahan berikutnya terjadi.
Daerah bagian barat sungai Bulok menjadi tempat tujuan mereka maka jadilah desa Sidoharjo yang artinya ‘sido” jadi dan harjo adalah sejahtera, maka terbentuklah desa Sidoharjo di awal tahun 1920 an.
Sementara sebagian masyarakat yang berpindah ke Sidoharjo sebagian memilih area dekat pasar Pringsewu yang banyak ditumbuhi pohon bambu liar dan berukuran besar. Setelah tempat tersebut dibuka diberilah nama tempat tersebut Pringombo. Tempat yang awalnya ditumbuhi pohon bambu liar berukuran besar.
Pringsewu di fase awal berdiri dengan Wedana pertama yakni Bapak Ibrahim hingga 1943. Selanjutnya Kawedanan Tataan berturut-turut dipimpin oleh Bapak Ramelan pada tahun 1943, Bapak Nurdin pada tahun 1949, Bapak Hasyim Asmarantaka pada tahun 1951, Bapak Saleh Adenan pada tahun 1957, serta pada tahun 1959 diangkat sebagai Wedana yaitu Bapak R.Arifin Kartaprawira yang merupakan Wedana terakhir hingga tahun 1964.
tempat lain untuk mencari hidup yang lebih baik. Selanjutnya, pada tahun 1936 berdiri pemerintahan Kawedanan Gedong Tataan dengan ibu kota Pringsewu. Cerita panjang perjalanan orang-orang dari Jawa Tengah yang mengikuti program transmigrasi pemerintah Hindia Belanda berahir pada Pringsewu Tempat di Sumatra Rasa Jawa Tengah.
Dimana hari ini menjadi daerah yang cukup aman dan kondusif untuk ditinggali. Sebagian penduduk Bagelen yang pindah ke Tambah Rejo dan Wates mulai menetap di daerah tersebut sebagian, sebagian masyarakatnya menginginkan hidup lebih baik lagi.
tempat tempat lain, kebanyakan menuju arah barat yang kala itu masih merupakan hutan bambu. Penyebaran saat itu menuju daerah baru yang kemudian diberi nama Tambah dan sebagian di Gading Rejo.
Dari tempat tersebut lantas menyebar di area terjauh yang ahirnya diberi nama Wates. Arti Tambah Rejo adalah bentuk harapan masyarakat karena arti “rejo” adalah baik maka kata Tambah Rejo adalah sebuah harapan untuk jadi lebih baik di desa yang baru.
Sementara desa Wates adalah batas ahir mendirikan bangunan sampai di ujung desa; maka itu disebut desa Wates. Selain dari Tambah Rejo dan Wates sebagian besar melakukan perpindahan ke daerah yang disebut Pringsewu.
Karena begitu banyaknya pohon bambu di hutan yang mereka buka tersebut, oleh masyarakat desa yang baru dibuka tersebut dinamakan Pringsewu, yang berasal dari bahasa Jawa yang artinya Bambu Seribu.
Saat ini daerah yang dahulunya hutan bambu tersebut telah menjelma menjadi sebuah kota yang cukup maju dan ramai di Provinsi Lampung, yakni yang sekarang dikenal sebagai ‘Pringsewu’ yang saat ini juga merupakan salah satu kota terbesar di Provinsi Lampung.
Selanjutnya, pada tahun 1936 berdiri pemerintahan Kawedanan Tataan yang beribukota di Pringsewu, dengan Wedana pertama yakni Bapak Ibrahim hingga 1943.
Selanjutnya Kawedanan Tataan berturut-turut dipimpin oleh Bapak Ramelan pada tahun 1943, Bapak Nurdin pada tahun 1949, Bapak Hasyim Asmarantaka pada tahun 1951, Bapak Saleh Adenan pada tahun 1957, serta pada tahun 1959 diangkat sebagai Wedana yaitu Bapak R.Arifin Kartaprawira yang merupakan Wedana terakhir hingga tahun 1964, saat pemerintahan Kawedanan Tataan dihapuskan.
Pada tahun 1964, dibentuk pemerintahan Kecamatan Pringsewu yang merupakan bagian dari wilayah Kabupaten Daerah Tingkat II Lampung Selatan sesuai dengan Undang-undang Nomor 14 Tahun 1964, yang sebelumnya Pringsewu juga pernah menjadi bagian dari Kecamatan Pagelaran yang juga beribukota di Pringsewu.
Dalam sejarah perjalanan berikutnya, Kecamatan Pringsewu bersama sejumlah kecamatan lainnya di wilayah Lampung Selatan bagian barat yang menjadi bagian wilayah administrasi Pembantu Bupati Lampung Selatan Wilayah Kotaagung, masuk menjadi bagian wilayah Kabupaten Tanggamus berdasarkan Undang-undang Nomor 2 Tahun 1997, hingga terbentuk sebagai daerah otonom yang mandiri.
Kabupaten Pringsewu merupakan wilayah heterogen terdiri dari bermacam-macam suku bangsa, dengan masyarakat Jawa yang cukup dominan, disamping masyarakat asli Lampung, yang terdiri dari masyarakat yang beradat Pepadun (Pubian) serta masyarakat beradat Saibatin (Peminggir).
Kabupaten Pringsewu dibentuk berdasarkan UU Nomor 48 Tahun 2008 yang diresmikan oleh Mendagri H. Mardiyanto pada 3 April 2009. (dari berbagai sumber) []


Tidak ada komentar:

Posting Komentar